Sengketa pajak dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-009066.11/2021/PP/M.IIA Tahun 2025 bermula dari koreksi yang dilakukan oleh DJP terhadap PT CG atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh Pasal 22 sebesar Rp12.857.398.834,010. Koreksi tersebut dituangkan dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Nomor 00004/202/18/073/20 tanggal 27 April 2020, dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar mencapai Rp424.204.170,00, terdiri atas pokok pajak dan sanksi bunga.
Menurut DJP, pembelian Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang dilakukan PT CG kepada Koperasi CTS seharusnya dikenai pemungutan PPh Pasal 22. DJP beralasan bahwa koperasi merupakan badan hukum yang menjadi lawan transaksi, sementara nilai pembelian TBS per bulan melampaui batas Rp20.000.000,00, sehingga tidak memenuhi syarat pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU PPh jo. PMK-34/PMK.010/2017.
Namun, PT CG mengajukan keberatan dan kemudian banding dengan argumentasi bahwa transaksi pembelian TBS tersebut bukan pembelian dari koperasi sebagai badan usaha, melainkan dari petani plasma yang hasil panennya dikoordinir oleh koperasi. Koperasi, dalam hal ini, hanya berperan sebagai administrator atau perantara pembayaran antara perusahaan dan petani. Selain itu, nilai pembelian per petani selalu di bawah Rp20.000.000,00 per masa pajak, sehingga termasuk dalam pengecualian PPh Pasal 22.
PT CG juga menyoroti bahwa koreksi sebesar Rp12.857.398.834,00 tersebut tidak pernah dicantumkan dalam Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP), tetapi justru muncul langsung dalam SKPKB tanpa memberikan kesempatan kepada PT CG untuk menanggapi hasil pemeriksaan. Hal ini membuat SKPKB dianggap cacat hukum secara prosedural sebagaimana diatur dalam PMK 184/PMK.03/2015 dan Surat Edaran DJP SE-6/PJ/2018.
Dalam persidangan, PT CG berhasil menunjukkan bukti-bukti substantif berupa rekap pembelian TBS, tagihan dari koperasi, serta surat pernyataan koperasi yang menjelaskan bahwa hasil panen tersebut milik petani plasma, bukan koperasi. Pembayaran kepada koperasi hanya bersifat administratif. Berdasarkan fakta tersebut, Majelis Hakim menilai bahwa transaksi tersebut tidak termasuk objek PPh Pasal 22, karena memenuhi kriteria pengecualian untuk pembelian hasil perkebunan dari petani kecil.
Majelis juga menegaskan bahwa DJP keliru dalam menetapkan koperasi sebagai subjek pemungutan pajak, serta tidak dapat membuktikan bahwa pembayaran dilakukan kepada koperasi sebagai penjual barang. Koreksi yang dilakukan tanpa pemberitahuan melalui SPHP juga dinilai melanggar asas prosedural pemeriksaan pajak yang adil dan transparan.
Atas dasar pertimbangan tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak mengabulkan seluruh permohonan banding PT CG dan membatalkan SKPKB PPh Pasal 22 dimaksud, sehingga jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi Rp0,00.
Putusan ini menegaskan bahwa penerapan PPh Pasal 22 tidak dapat dilakukan secara formalistik, tetapi harus mempertimbangkan substansi ekonomi dari transaksi. Pembelian hasil pertanian dari petani plasma melalui koperasi administratif tidak dapat dianggap sebagai pembelian dari badan usaha yang wajib dipungut pajak.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini